sumber: kompas.com
Info.hallobanua.com.SELAMA 170 tahun terakhir, alih fungsi lahan atau tata guna lahan selalu mengubah siklus karbon di Bumi.
Hasil riset Houghton et
al. (2001) dari Oak Ridge National Laboratory, Amerika Serikat (AS) misalnya,
menyebut kira-kira 35 persen emisi karbon dioksida (CO2) antropogenik berasal
dari tata-guna lahan.
Perubahan buka-tutup lahan
juga sangat memengaruhi iklim setempat dan kawasan, akibat perubahan keseimbangan
air dan energi permukaan tanah serta perubahan suhu ekstrem zona tata-guna
lahan ekstensif (Pielke Sr. et al., 2002; Kalnay et al., 2003; Kueppers et
al.,2007; Chen et al., 2018; Chen et al., 2020).
Tata guna tiap lahan dan buka-tutup lahan termasuk
unsur pokok strategi negara menyejahterakan rakyat serta mitigasi dan cegah
perubahan iklim dan pemanasan global.
Aturan dan kebijakan tata
guna lahan harus sesuai sejarah, tradisi, dan karakter per daerah. Misalnya,
kawasan Indonesia bagian timur adalah zona enau, kelapa, aren, rempah, bukan
kelapa sawit.
Alam merekam jejak ekologis Sejak 1970-an para
ahli, misalnya Caldwell (1970:203), riset Greiner (1974: 6-10) di Kanada, studi
empirik Ellis (2017:1) pengaruh tata-guna lahan terhadap perubahan ekologis
12.000 tahun terakhir di seluruh dunia, mengusulkan kebijakan lahan tiap negara
harus merujuk kriteria karakter ekosistem suatu wilayah.
Begitu pula hasil riset
empirik Dislich et al. (2017:1) menemukan perubahan tata-guna lahan untuk
kelapa sawit di Riau (Sumatera) telah mengubah fungsi sosial-ekonomi dan
ekologis lansekap tropis.
Karakter zona timur
Indonesia adalah karakter fauna dan flora Australia; sedangkan zona barat
Indonesia adalah fauna dan flora karakter Asia; inilah keunggulan Bhinneka
Tunggal Ika Negara-Bangsa Indonesia.
Maka program nasional dan program daerah
bidang tata guna lahan atau alih fungsi lahan jangan menerabas karakter per
daerah yang telah terbentuk oleh seleksi alam selama ratusan bahkan ribuan
tahun.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mesti
terapkan strategi bio-ekonomi sesuai karakter per daerah kini dan ke depan.
Tanah dan air sangat stategis bagi survival,
pertahanan-keamanan, dan sehat-sejahtera suatu bangsa.
Para pendiri Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memasukan ketentuan khusus Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 : Bumi dan air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya,
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Siasat membangun negara juga selalu berkenaan
dengan sesuatu yang bernyawa yakni rakyat dan tanah-air lingkungan hidup.
Kekuatan inti negara-bangsa ialah rakyat dan tanah-air lingkungannya. Begitu
filosofi dasar (geistlichen hintergrund) pendiri negara-bangsa Indonesia,
misalnya Ir Soekarno, Ketua Panitia Hukum Dasar Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) dan Prof Dr Soepomo, anggota BPUPKI
pada tahun 1945 di Jakarta. Karena itu, tanah dan air harus betul-betul
dikelola dan difungsikan secara hikmat-bijaksana. Perilaku korup bahkan perang
sangat mudah direkam oleh habitat alam.
Jejak ekologis kegiatan manusia direkam oleh
habitat alam. Misalnya, manusia mengubah siklus hidrologis pada satu lahan,
guna menyediakan air-segar irigasi, industri, atau konsumsi masyarakat (Postel
et al, 1996:271, 785; Vorosmarty et al., 2000:284, 289). Begitu pula jika
lahan-tanah dijadikan tempat perang, jejak ekologisnya lazim gersang. Era abad
20 M, kita saksikan: lahan-tanah melayani program-program ‘modernisasi’.
Kini lahan bukan lagi
melayani modernisasi, tetapi melayani upaya dan program mencegah risiko polusi,
degradasi sumber daya alam dan penipisan atau deplesi sumber alam (Angel et
al., 2005; York et al., 2012). Pieterse (2010:1) bahkan menyimpulkan,
“modernity no longer seems so attractive in view of ecological problems” atau
modernisasi tidak lagi memiliki daya tarik, karena risiko lingkungan sejak
akhir abad 20.
Sebab tata-guna lahan dan buka- tutup lahan
selama ini selalu berisiko memicu kemerosotan keragaman-hayati akibat
kepunahan, modifikasi, dan fragmentasi habitat alam, degradasi tanah dan air,
serta eksploitasi spesies-spesies natif atau setempat (Pimm et al., 2000:403).
Paduan agrikultur dan konservasi atau CA Tata-guna
lahan melayani kebutuhan pangan dan sumber energi serta mengurangi risiko
lingkungan (Foley et al., 2011), pemanasan global, perubahan iklim (Lobell
& Burke, 2010; Meyfroidt, et al, 2013: 2), kebutuhan transportasi,
infrastruktur, energi, eko-inovasi, dan migrasi penduduk.
Maka pilihannya antara lain paduan agrikultur
dan konservasi (conservation agriculture / CA) dari Food Agriculture
Organization (FAO) awal abad 21.
Ciri pokok CA selama ini ialah (1) minimum
gangguan (disturbance) terhadap tanah; (2) penutup tanah organik secara
permanen; dan (3) siklus atau rotasi keragaman tanaman.
Manfaatnya antara lain melindungi fisik tanah
dari risiko curah hujan, angin, dan matahari, dan menyediakan substrat tanah biota.
Di Brasil, CA disebut ‘ZT sustainable agriculture’ (ZT pertanian-sehat-lestari
); CA berbeda dengan ‘organic farming’, walaupun sama-sama menerapkan proses
alamiah tanah (di bawah tanah dan di atas tanah); CA tidak menggunakan input
kimia, khususnya pupuk dan herbisida.
CA juga dikembangkan di Amerika Serikat (AS)
dan Australia (Derpsch, 2005).
Riset Bolliger et al. (2006) menemukan, CA
Brasil sangat berkembang dari 1.000 ha tahun 1973 -1974 hingga 22 juta ha tahun
2003- 2004 atau 45 persen dari total area budidaya di Brasil.
Awal abad 21, model-model CA dikembangkan oleh
petani skala kecil dalam sistem pertanian padi-gandum Dataran Indo-Gangetic di
Asia (Hobbs & Gupta, 2002), sekitar 100.000 petani di Ghana (Ekboir et al.,
2002), 10 persen petani kecil di Zambia (Baudron, 2005) dan uji-coba jangka
panjang pola ZT Brasil di Nigeria akhir abad 20 (Lal, 1998). Uji-coba CA di
Ethiopia, Kenya,Tanzania dan Zimbabwe meningkatkan 20-120 persen hasil
pertanian tadah hujan petani (Rockstrom et al., 2007).
Uji-coba CA padi-gandum di Asia Selatan fokus
pada peningkatan kapasitas fisik dan sifat kimia tanah dan keanekaragaman
biotik tanah (Hobbs, 2007).
Hasilnya, biaya produksi
berkurang; hasil pertanian meningkat; hama dan penyakit berkurang serta sehat
ekosistem lahan (Bot et al. 2001, 2005). Tanah adalah pusat vegetasi yang
sangat strategis bagi upaya-upaya kendali perubahan iklim dan pemanasan global
serta penyediaan kebutuhan pangan dan energi.
rifai/may
0 Komentar